Media Sosial: Katalisator Kecemasan dan Depresi di Era Digital

oleh
Ilham, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar

inilahmedia.idOleh Ilham, mahasiswa Prodi Kesehatan Masyarakat (Kesmas), Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

Perkembangan teknologi Mengawal perkembangan dunia dengan pergerakan teknologi yang cepat dan responsif menjadi peluang serta tantangan manusia moderen saat ini.

Melalui teknologi semua dapat diakses dan digerakkan dalam satu genggaman, misalnya proses peneriman informasi dulunya melalui koran cetak beralih kepada koran digital. Perkembangan pesat teknologi seharusnya menjadi peluang besar jika dimanfaatkan dengan baik dan bertanggung jawab.

Teknologi tidak memimpin manusia melainkan teknologi yang dipimpin oleh manusia sebagai alternatif dalam memudahkan aktivitas.

Per-April 2024, pengguna layanan internet di suruh dunia sebanyak 5,44 miliar yang jumlahnya setara dengan 67,1 persen populasi global. Dari jumlah tersebut, 5,07 miliar atau 62,6 persen populasi dunia adalah pengguna media sosial (Statistia,2024), sedangkan di Indonesia We Are Social melaporkan pengguna media sosial pada Januari 2024 sebanyak 139 juta Jiwa setara dengan 49,9% dari total populasi penduduk yang didominasi oleh angkatan umur Gen-Z.

Angka pengguna media sosial yang tinggi dapat menjadi signal positif, masyarakat semakin melek dan memanfaatkan teknologi. Tetapi berpotensi juga menimbulkan bias negatif akibat penggunaan yang tidak bertanggung jawab dan terkontrol.

Kondisi kesehatan mental WHO (World Healt Organization) berpendapat bahwa sehat tidak hanya sebatas pada fisik, tetapi juga mental (psikis) dan sosial.

Sehingga gangguan kesehatan mental akan sangat mempengaruhi keseharian dan kualitas hidup. Survei Kesehatan Indonesia tahun 2022 mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan, sebanyak 5,5% remaja usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental, 1% mengalami depresi, 3,7% mengalami cemas, 0,9% mengalami post-traumatic stress disorder (SPTSD), dan 0,5% mengalami attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) namun yang mengakses layanan kesehatan dan pengobatan hanya sebesar 10% dari total kasus dan populasi.

Artikel WHO berjudul $ Mental health of adolescents $ mengungkapkan salah satu penyebab gangguan mental pada remaja adalah media, yang diikuti faktor lain seperti eksplorasi diri, tuntuan sosial, adaptasi masa pertumbuhan dan lingkungan. Media sosial sebagai bagian yang bertanggung jawab dalam gangguan kesehatan mental pada remaja adalah hal yang relevan mengingat jumlah pengguna media sosial tertinggi adalah angkatan umur Gen-Z (Usia remaja).

Ahli bedah umum amerika serikat dalam rekomendasi berjudul $ Social Media and Youth Mental Health$  mengungkapkan bahwa media sosial bisa sangat berpengaruh mengingat masa remaja sangat rentan karena sedang dalam pertumbuhan, dijelaskan lebih dalam bahwa paparan media sosial berlebihan memungkinkan meningkatkan kecemasan dan depresi.

Media sosial,Gangguan Kecemasan dan depresi Media sosial adalah dunia yang khayal dan penuh dengan pencitraan diri, sangat jarang seseorang pengguna mengunggah aktivitas, cerita dan kejadian duka yang dialami. Frekuensi konten dan postingan yang bernuansa bahagia, mencerminkan kesuksesan dan pencapaian serta foto atau video hasil polesan yang sangat menarik lebih banyak dijumpai. Mengunggah hal demikian mengharapkan pujian, popularitas dan menjadi sumber penghasilan.

Melihat paparan konten yang nampaknya sangat bahagia dan penuh popularitas bagi Remaja yang berada pada masa pencarian jati diri dan pembentukan karakter berpotensi mengarah kepada perbandingan sosial dengan membandingkan diri terhadap pencapaian dan kebahagiaan orang lain sehingga memungkinkan menimbulkan perasaan kurang percaya diri, tidak puas dengan pencapaian hidup dan perasaan putus asa.

Memposting konten yang bahagia, positif dan memotivasi tidak selamanya mendapatkan respon yang baik, sebagai ruang terbuka dan bebas media sosial memungkinkan dihuni oleh haters atau pembenci. Menurut UNICEF (United Nations Children’s Fund) Indonesia, sebanyak 45 persen dari 2.777 Anak muda berusia 14-24 yang didata pada platform $  U-Report$  mengaku bahwa mereka pernah dibully melalui media sosial dan Hampir 40% kasus bunuh diri di Indonesia disebabkan oleh perundungan (Khofifa Indar Parawansah, Mentri Sosial Periode Presiden Jokowidodo 2014-2018). Perundungan di media sosial merupakan fenomena yang tergolong sukar mengingat pelaku bisa memalsukan identitas dan anonim, dampak yang ditimbulkan mengarah kepada depresi akibat hujatan dan tekanan yang diterima serta perasaan tidak berharga.

Melalui konten media sosila yang diatur oleh alogaritma sepeti membentuk lingkaran setan, konten yang kontroversi dan emosional memiliki kemungkinan populer di kalangan pengguna karena dapat mengundang simpati dan empati. Sehingga ketika terjadi penurunan kepuasan hidup akibat perbandingan sosial terhadap konten yang dikonsumsi, alogaritma akan justru menggiring dan memunculkan konten yang serupa memainkan gejolak emosional dan berdampak pada kecemasan dan depresi.

Perlindungan diri Merupakan tanggung jawab bagi diri kita sendiri untuk menjaga kesehatan mental dan menyaring setiap yang kita konsumsi di media sosial, perlu membangun ketahanan diri sendiri melalui beberapa langkah sebagai berikut :
1. Menyaring informasi dengan bijak, kita memiliki kemampuan otonom untuk mengatur apa saja yang dapat kita konsumsi di media sosial sehingga perlu menyaring konten negatif sumber stres. Mulailah menikmati konten yang membangun semangat dan menciptakan motivasi dibandingkan konten yang menyerang rasa kepuasan terhadap hidup.
2. Membangun batasan, Menyusun jumlah waktu yang dihabiskan dengan media sosial sangat perlu, kita sebaiknya membuat kontrak dengan diri sendiri perihal frekuensi paparan media sosial serta hindari menggunakan media sosial saat menjelang tidur atau waktu rawan overthingking
3. Imbangi kehidupan virtual dan nyata, Sebagai mahluk sosial kita membutuhkan interaksi yang seimbang. Dunia virtual tidak selamanya buruk, tetapi perlu untuk menyeimbangkan antara interaksi dalam menciptakan keseimbangan sosial karena pengalaman bersososialisasi dunia nyata tidak pernah bisa digantikan dengan dunia dunia digital.

Perlu untuk kita menyadari setiap aktivitas yang dilakukan harus berlandaskan pada sifat bijak dan bertanggung jawab, terutama dalam bermedia sosial dengan kemajuan fitur sangat cepat disetiap saaat. Jaga kesehatan mental dimulai dari menyaring konsumsi di media sosial, karena sehat bukan hanya pada fisik tetapi juga mental dan sosial.